Jam menunjukkan pukul 06:00 wib pagi, alhamdulillah selesai
juga. Kataku sambil merenggangkan tubuhku, setelah selesai belajar
diniyah pagi. Aku adalah seorang santri di sebuah pondok pesantren di
daerah jawa timur, pesantren yang sudah cukup terkenal di desa-ku
mojokerto. Sebelum belajar di pesantren itu kami diasingkan di sebuah
daerah terpencil di daerah gersik. Disana aku mengalami suka, duka,
sedih, gembira, dan berbagai dan berbagai perasaan lainnya.
Ada sebuah cerita sedih yang menyelimuti kami yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Ceritanya begini:
Pagi itu, seperti biasa selesai belajar diniyah kami bersiap-siap pergi
ke danau yang jarakanya tidak jauh dari lokasi pesantren, disana kami
biasanya mandi, soalnya sekarang lagi musim kemarau jadi selain air
sumur pada kering ada sesuatu yang istimewa di danau itu sehingga
membuat kami berlomba-lomba tuk pergi kesana, yaitu danau terletak di
tengah-tengah kebun mangga. Jadi setiap hari kami berlomba-lomba berburu
mangga baik yang jatuh maupun yang masih di tangkainya.
Kami semuanya saling berlomba kesana sambil membawa pisau, parang dan
lainnya hanya untuk mengupas kulit mangga dan tak jarang setiap pulang
kami membawa sekantong plastik mangga untuk dimakan di kamar.
Sebelum kesini, sebenarnya berjumlah enam puluh siswa, karena
berbagai seleksi dengan berbagai keadaan keadaan disana sehingga banyak
di antara kami banyak yang keluar karena tidak tahan tinggal 20 siswa.
hari demi hari kami lalui bersama, makan bersama, tidur bersama dan
belajar bersama. Satu dengan yang lainnya saling mengisi ibarat sebuah
rumah yang terdiri dari batu, kayu, pasir dan semen yang tiap dari
bagiannya saling melengkapi. Ada satu orang di antara kami yang menjadi
inspirasi bagi kami semua. Namanya ihsan, dia berasal dari solo. Dia
adalah anak yang raji, tekun dan tidak pernah mengeluh atas segala
cobaan yang ada. Yang membuat kami semua kagum adalah semangatnya yang
tinggi untuk belajar. Ketika di dalam kelas dia selalu duduk di depan
dan ketika belajar dia selalu yang pertama dari pada yang lain. Aku
berusaha untuk menyainginya, tetapi selalu saja gagal.
Pernah suatu ketika, ketika aku terbangun di tengah malam untuk pergi
ke kamar mandi. Aku melihat ada satu kamar yang tidak dimatikan
lampunya padahal semua lampu sudah pada mati, aku berjalan
mengendap-endap dan kubuka sedikit pintunya, aku lihat ihsan lagi
belajar, mengulangi hafalanya dan mengingat pelajaran pelajaran yang
tadi telah dipelajari, padahal semua teman kamarnya telah terlelap di
atas kasur yang empuk dalam dekapan selimut yang membuat setiap mata
terjatuh diatasnya.
Setelah selesai belajar tidak lupa ia shalat tahajud dan memohon
kepada Allah agar dimudahkan dalam belajar dan dijauhkan dari sifat
malas “subhanallah”, kataku. Tidak pernah tergambar dalam pikiranku tuk
melaksanakan seperti apa yang ia lakukan.
Sampai akhirnya tibalah waktunya liburan semester 1, banyak di antara
kami kembali ke kampung halamannya, termasuk ihsan. Aku dan seorang
temanku tetap tinggal di pesantren, mengurusi dan menjaga pesantren dan
ada juga yang menjadi UPZ, selama satu bulan lamanya.
Akhirnya liburan pun selesai, aku sudah tidak sabar lagi untuk
bertemu dengan teman-temanku, dan melihat oleh-oleh apa yang mereka bawa
sekembalinya dari kampung. “wah, tak sabar lagi aku menunggu mereka “,
kataku dalam hati dan benarlah, satu persatu dari mereka datang, sampai
akhirnya hanya ihsan yang belum datang.
Sehari, dua hari, tiga hari dan seminggu ihsan tidak datang juga,
kami semua harap-harap cemas atas kedatangannya sampai hari kelima belas
dia datang, tetapi wajahnya berbeda dari sebelumnya. Ketika kami tanya.
“Ada apa san. Kok lama datang?” dia tidak menjawab sama sekali.
Sampai akhirnya kami tau, bahwa ayahnya terkena kanker otak dan sekarang
memasuki masa akut tidak tau apa yang harus kami lakukan, kami hanya
bisa menghiburnya dan berdoa semoga ayahnya cepat sembuh.
Pada tanggal 13 september, tepatnya 3 minggu setelah liburan
terdengar berita duka dari solo, bahwa ayahnya ihsan telah meninggal
dunia, perasaan sedih menyelimuti kami semua canda dan tawa kami berubah
menjadi sedih dan pilu. Aku tidak tau bagaimana perasaannya terhadap
kejadian itu. Dia jadi sering menyendiri dan melamun.
Sampai akhirnya, dia meminta izin kepada ustaz untuk pergi melihat
pekuburan ayahnya. Dia pergi dengan sejumlah besar pakaiannya di dalam
sebuah koper hitam bermerek polo.
Setelah itu, satu, dua minggu kami menunggunya dia tidak datang juga
sampai akhirnya sebulan pun berlalu. Kami semua pasrah bahwa dia tidak
kembali lagi kesini, tetapi aku tidak yakin pasti dia akan kembali.
satu, dua hari kutunggu dia tidak ada juga. Minggu pertama tidak ada
juga, minggu kedua pun sama. Hatiku pun mulai goyah, “akankah dia
datang” pikirku. Tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok bayangan manusia
yang sedang menggendong koper besar di tangan kanannya di tengah terik
matahari yang menyengat, aku pun berteriak, “itu ihsan.. itu ihsan, dia
kembali”.
Kami semua pun keluar untuk menyambutnya. Tak kusangka hari ini adalah
hari yang paling membahagiakan bagi kami semua, kami kira kami akan
kehilangan seorang sahabat yang menjadi inspirator bagi kami semua.
sumber di sini
0 komentar:
Posting Komentar