Amanda, cewek manis yang awalnya aku pikir dia itu Tiara.
Hari itu aku benar-benar frustasi, tidak ada lagi hasrat untuk hidup
yang melekat di dalam jiwa, hari-hari bagaikan jurang yang curam,
seperti mendung yang tak akan pernah memperlihatkan cahaya mantahari.
Rasanya mengakhiri hidup merupakan jalan satu-satunya yang terbaik.
Perlahan aku melangkahkan kakiku, aku tidak perduli dengan teriakkan
orang-orang. Aku juga tidak bodoh kalau lampu jalan masih berwarna
merah. Aku hanya tidak perduli, mungkin dengan jiwa ini tertabarak oleh
kendaraan yang berlalu-lalang ragaku dapat bertemu Tiara di alam sana
dan berakhir pula penderitaanku. Tiba-tiba seseorang melontarkan
tubuhnya ke arahku sehingga tubuhku terjatuh ke tepi jalan.
“Hei…!!! Lo mau mati ya?” teriknya
Aku mencoba bangkit dan menantap mata orang itu, perlahan ku pusatkan pandanganku yang sedikit kabur.
Tuhan… Mimpikah ini?
“Mata itu…”
Mata itu mirip dengan mata Tiara, apakah Tuhan mengirim kembali Tiara kepadaku.
“Mata? Ada apa dengan mata gue?” tanyanya sedikit heran.
Aku hanya terdiam, aku masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.
“Eh… Kok bengong aja? Lo gak apa-apa kan?” tanyanya yang terlihat khawatir.
“Tia… Tiara…” ucapku terbata.
“Tiara, siapa tuh… Gue Amanda, bukan…”
“Siapapun kamu aku gak perduli, makasih udah kembali.” ucapku memutus perkataannya.
“Aneh lo.” ucapnya lalu berlalu.
Kali ini aku tidak akan kehilangan Tiara untuk yang kedua kalinya, aku
memantapkan hatiku untuk selalu bersama dan berada di sampingnya. Aku
berlari dan berhasil meraih tangannya.
“Eh, apa-apaan sih lo!” ucap dia.
Aku tersentak, Tiara tidak pernah berkata kasar kepadaku, Tiara tidak
pernah menatapku seperti itu. Dia bukan Tiara.. Tetapi mata itu…
Perlahan kulepaskan genggaman tangnanku, aku berjalan mundur dan mata itu, tetap menatapku tajam. Tuhan ini membingungkan.
Beberapa hari ini aku mulai menghilangkan fikiran untuk mengakhiri
hidup, saat ini yang aku fikirkan, bagaimana caranya aku dapat bertemu
lagi dengan Tiara. Karena aku merasa Tiara masih hidup.
Sore itu dengan kaos oblong dan jeans hitam kesayangan, aku
berjalan-jalan menghirup udara segar di dekat taman komplek. Aku hanya
ingin menenangkan fikiran dari bayang-bayang Tiara.
Tiba-tiba kaki ini berhenti melangkah, mata ini tertuju pada sesosok
yang berada di sana. Mata yang jernih dan indah, mata yang mirip sekali
dangan mata punya Tiara.
Yah… Gadis itu yang memiliki mata sama dengan mata Tiara. Aku
mendekatinya dan duduk di depannya. Ia meletakkan kepalanya di atas
meja, pandangannya kosong. “Apa yang sedang ia pikirkan?” tanyaku pada
diriku sendiri.
“Amanda…” sapaku terdengar canggung.
“Astaga… siapa lo? bikin kaget aja.” Ucapnya yang terlihat kaget.
“Gak inget gue?” ucapku balik tanya.
“Emmm…” gumamnya ngengerutkan kening sambil berfikir.
“Oh… Cowok gila yang mau coba bunuh diri itu kan?” ucapnya lagi terlihat lega, seperti menemukan ingatan yang telah ia lupakan.
“Gue Dion.” ucapku mengulurkan tangan.
“Bodo’. Gue gak mau kenalan ama orang aneh kaya lo.” ucapnya cuek.
Itulah Amanda, cuek tapi lebih berkesan manis. Sejak pertemuan saat
itu dan sudah sebulan ini aku selalu mengikuti Amanda, yah… Lebih
tepatnya seperti penguntit. Kemanapun ia pergi aku akan berada di
sampingnya, aku tahu dia tidak pernah menganggapku ada, tetapi aku tidak
perduli.
Hari ini, tepat hari ulang tahun Tiara, aku ingin memberikan sebuah
kejutan untuk Tiara yang saat ini berada dalam tubuh Amanda. Malam ini
aku mengundangnya untuk datang ke sebuah taman dekat komplek yang
menjadi tempat tongkrongan ku dengan Amanda. Hari ini aku mempersiapkan
segala sesuatu sendiri. Kugantungkan lampion-lampion kecil menghiasi
pohon. Dan kutaburkan butiran-butiran kelopak bunga mawar di sekitar
tempat duduk di bawah pohon. Beberapa makanan dan minuman telah berada
di atas meja. Sepertinya persipan ini telah sempurna. Tiba-tiba sesosok
gadis cantik memasuki area taman, gaun merah muda yang membuatnya
terlihat cantik membuat mataku tak ingin berpaling darinya. Ia tersenyum
dan mendekat.
“Wahhh… Keren banget.” ucapnya langsung duduk di bangku yang telah ku siapkan.
Aku menghidupakn lilin-lilin yang berada di atas kue tart dan aku mulai menyanyikan lagu selamat ulang tahun.
Aku bahagia meliahat Amanda tersenyum, sepertinya apa yang aku berikan
hari ini benar-benar berhasil. Tetapi di akhir lagu (… happy brithday,
Tiara.) betapa terkejutnya aku saat melihat perubahan raut wajah Amanda
yang menjadi amarah. Amanda bangkit dari tempat duduknya, ia berlari
meninggalkan ku. Aku terperanjat dan terkejut, apa yang terjadi? Kenapa
Amanda beralari dan pergi. Dan sebelum itu ia meneteskan airmatanya.
Pikiranku kacau, nafasku sesak. Aku memutuskan mencari Amanda.
“Ngapain lo kesini?” suaranya terdengar parau, dan mata itu masih meneteskan air mata.
“Tiara…” ucapku.
Hanya kata itu yang dapat aku ucapkan. Hatiku sakit melihat airmatanya.
“Lo… Jahat banget sih lo.” ucapnya marah.
“Gue itu bukan Tiara, gue Amanda. Harus berapa kali gue kasih tau ke
elo, kalo gue bukan Tiara. Gue gak kenal siapa Tiara, dan gue gak peduli
siapa dia.” ucapnya semakin marah dan airmata itu semakin berlinangan.
“Tia…” ucapku, aku tidak tahu kenapa aku selalu mengucapkan kata itu..
pikiranku hanya tertuju pada mata Amanda, mata itu mengeluarkan air
mata, dan air mata itu keluar karena ia kecawa dengan ku. Tuhan… Rasanya
aku ingin menghapus air mata itu dan mengubahnya menjadi tatapan
kebahagiaan.
“Cukup… Gue benci lo, jangan pernah samain gue dengan Tiara. Tiara itu udah mati.” teriaknya lalu pergi.
Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Amanda bagai petir yang
menyambar, bagai bom jiwa yang tiba-tiba meledak. Tubuhku bergetar,
perasaan ini semakin berkeping-keping terkena sambaran petir dan letusan
bom itu. “Tidak, Tiara belum mati… Tiara belum mati…”
—
Aku menutup novel itu, novel yang mengingatkan ku dengan pria yang
pernah mempir dalam alur kehidupanku dan pria yang pernah berada dalam
hatiku. Sudah satu tahun sejak kejadian itu aku memutuskan untuk pergi
meninggalkan kota itu, kota yang penuh dengan tempat-tempat kenangan.
Dan sudah dua bulan juga aku membeli novel ini, novel yang berkisahkan
masa lalu ku dengannya dan selama itu aku juga masih belum bisa membaca
sampai akhir novel ini. Aku takut membaca akhir dari novel ini, tanganku
terus bergetar saat membuka lembar dari lembar novel ini, aku takut
dengan semuanya, aku takut akankah aku dapat menata perasaan ku saat aku
mengetahui ending dari novel ini. Tidak ada alasan lain aku hanya
takut.
“Halo… gimana dokter sudah ketemu?” tanyaku yang sangat penasaran.
Hari ini setelah aku membaca separuh dari bagian novel karangan Dion aku
memutuskan untuk menelfon dokter yang pernah menanganai transparansi
mataku satu tahun yang lalu.
Aku penasaran, siapa sebenarnya pemilik mata yang saat ini melekat di tubuhku.
Betepa terkejutnya aku, saat mendengar ucapan dokter itu.
“Jadi.. Mata ini punya Tiara.” ucapku terkejut dan menjatuhkan handpone
yang berada di tanganku. Jadi mata ini benar-benar milik Tiara, gadis
yang pernah menjadi kekasih Dion.
Aku putuskan membuka lagi lembaran kertas novel ini dan mulai membacanya.
—
Kejadian itu membuatku sadar. Kalau Amanda bukanlah Tiara. Dan Amanda
benar, Tiara sudah meninggal dan dia gak akan kembali lagi. Dan aku
juga sadar selama ini aku melihat Amanda sebagai bayang-bayang Tiara.
Tetapi meskipun begitu entah kenapa persaan ini begitu sakit saat
mendengar nama Amanda, dahulu hanya nama Tiara yang membuat perasaan ku
sakit tapi kali ini berbeda. Mungkinkah aku benar-benar telah mengubah
isi hatiku, mungkinkah saat ini yang berada di hatiku Amanda bukan
Tiara.
Hari ini aku pergi ke rumah sakit dimana dulu Tiara di rawat. Dan
ternya benar aku memperoleh sebuah informasi yang meyakinkan dugaanku
sebelumnya. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Tiara mendonorkan
matanya pada seorang gadis. Dan gadis itu Amanda.
Entah kenapa saat mendengar kenyataan itu hatiku merasa semakin
sakit, sepanjang perjalanan hanya bayangan Amanda yang bermunculan di
kepalaku. Saat Amanda tersenyum, tertawa, dan marah. Semua seperti
terputar kembali, seperti sebuah film yang sangat ingin aku lihat.
Hari ini aku terbangun dari tidurku, kepaluku pusing mata ini pun
berkunang-kunang. Tetapi pikiran dan ingatan ini masih teringat pada
sesosok gadis yang saat ini benar-benar telah mengisi hatiku. Amanda,
seandainya ada kesempatan aku ingin bertemu lagi dengan mu. Aku ingin
mengatakan semuanya. Aku ingin mengatakan kalau aku benar-benar sayang
sama kamu.
“Operasi.. Amerika…Tumor otak.” Kata-kata itu yang saat ini
benar-benar menguras pikiranku. Entah kenapa aku tidak ingin
menghilangkan tumor ini dari kepalaku, jika tumor ini aku hilangkan maka
ingatan ini pun akan hilang, dan Amanda juga akan hilang. Aku tidak
ingin menghapus Amanda dari ingatanku, aku tidak ingin menghilangkan
semua kenanganku yang pernah bersamanya. Aku masih ingin melihat
senyumnya, tawanya dan amarahnya. Aku juga tidak ingin jika mata ini
benar-benar tertutup untuk selama-lamanya.
Semakin hari rasa sakit ini semakin tidak dapat aku tahan, kapala ini
rasanya akan pecah. Tuhan… Kuatkan aku. Biarkan aku bertemu dengan
Amanda lagi. Aku mohon Tuhan…
Karena aku sadar mungkin waktu tidak akan bertahan denganku lebih lama
lagi maka aku putuskan untuk mencari Amanda dan menghubunginya.
Selama tiga bulan ini aku telah berusaha mencari dan menghubungi
Amanda tetapi hasilnya, sema sekali zero.. benar-benar nihil. Amanda
benar-benar tidak meninggalkan jajak sedikitpun. Aku tidak dapat
menemukannya.
Mungkin ini akhir dari kisahku dengan Amanda. Aku akan pergi ke Amerika
dan aku berhenti mencarinya, karena tidak ada setetes kekuatan untukku
mencarinya lagi. Tubuhku benar-benar telah lemah, aku hanya menunggu
Amanda yang mencari ku. Dan aku berharap itu benar-benar terjadi.
Mungkin Amanda akan benar-benar terhapus dari ingatanku tetapi perasaan
ini dan hati ini akan terus untukmu dan kamu akan selamanya berada di
hatiku.
Sampai kapan pun aku akan menunggu kedatanganmu.
End
Setetes air mata menetes membasahi novel ini, ternyata selama ini
yang menderita bukan aku saja, dia juga terluka. Tuhan aku juga
mencintai dia, biarkan aku bertemu denganya. Tuhan aku mohon…
Aku beranjak dari tempat dudukku, aku berlari menuju mobil yang
terparki di pinggir taman. Aku memacu kendaraanku menuju alamat yang
tertera di dalam novel ini, alamat yang mungkin akan mempertemukanku
dengan Dion.
“Da… Amanda…” ucap seseorang lembut.
Perlahan kubuka mataku, dan betapa terkejutnya aku melihat seluruh keluargaku berkumpul di hadapanku.
“Aku di mana?” tanyaku heran.
“Di rumah sakit sayang.” jawab mamaku.
“Rumah sakit?” tanyaku semakin heran
“Iya, dua minggu yang lalu kamu kecelakaan.” kali ini yang menjawab papa.
Aku bingung dengan semua ini. Kecelakaan? Terakhir kali yang aku ingat
aku pergi mengunjungi makam Dion, karena sebelumnya orangtua Dion
berkata kalau Dion menghembuskan nafas terakhirnya saat menjalankan
operasi di Amerika. Saat ini perasaanku kacau, aku ingin bertemu Dion.
Tidak mungkin ia pergi meninggalkan ku. Tidak mungkin ia pergi sebelum
melihatku. Tuhan… Ada apa ini?
Aku meneteskan airmata, perasaanku sakit. Kepalaku juga pusing seluruh sendi-sendi tubuhku kaku.
“Sayang ada apa?” tanya mama mendekapku hangat.
“Dion mana ma…?” tanyaku yang terdengar parau.
“Dion? Siapa Dion?” tanya mama juga heran.
“Dion ma, Dion.” ucapku sedikit memaksa.
“Di sini gak ada yang namanya Dion.” ucap papa yang juga terlihat heran.
Menyaksikan semua ini membuatku semakin heran. Aku hanya bisa menangis di pelukan mama.
Pada kenyataanya aku tidak pernah benar-benar bertemu dengan Dion.
Perasaan ini benar-benar tidak nyata, tetapi anehnya sebagian hatiku
masih berisi cinta Dion. Meskipun Dion tidak pernah singgah di kehidupan
nyataku dan meskipun faktanya Dion dan Tiara merupakan sepasang kekasih
yang meninggal saat mobilnya bertabrakan dengan mobilku serta mata yang
melekat di tubuhku benar-benar mata Tiara dan novel itu juga
benar-benar ada, semua isi dari novel itu juga sama seperti yang ada di
dalam mimpiku saat masih terbaring di rumah sakit. Dion yang
mencintaiku, Dion yang menungguku dan Dion yang selamanya menyimpanku di
hatinya.
Entah semua itu apa? Aku juga bingung dengan semua ini. semunyannya
terlalu nyata. Tetapi yang pasti aku akan tetap menyimpan Dion di hatiku
seperti Dion menyimpanku di hatinya. Dan kini giliran aku yang menunggu
Dion mencariku, aku hanya bisa berharap Dion yang aku temui di mimpi
itu benar-benar nyata dan sedang mencariku.
Dion… Terimakasih karena telah mampir dalam mimpiku, terimakasih karena
telah memberiku cinta yang tulus, dan terimakasih karena telah membuatku
menunggu seseorang sepertimu yang benar-benar nyata.
E N D
Cerpen Karangan: TD Mawatisa
Blog: http://writingdreambytd.blogspot.com/
sumber di sini
0 komentar:
Posting Komentar